Thursday 17 May 2018

Undang-Undang Perdagangan

Sejak zaman dulu, perdagangan telah banyak dilakukan di Indonesia, yang mana dikenal dalam sistem barter untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan. Perdagangan terjadi ketika ada transaksi antara penjual dan pembeli. Selain transaksi, perdagangan juga melibatkan serangkaian kegiatan produksi serta distribusi barang.

Undang-Undang tentang perdagangan pertama kali dicetuskan pada tanggal 11 Februari 2014, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2014. Sebelum UU No. 7 Tahun 2014 ini dicetuskan, bidang perdagangan diatur dengan hukum warisan kolonial Belanda Bedrijfsreglementerings Ordonnantie (BO) pada tahun 1934, yang mana lebih banyak mengatur mengenai perizinan usaha. Beberapa hal yang menjadi latar belakang dicetuskannya UU No. 7 Tahun 2014 ini yaitu sektor perdagangan menjadi pusat dari perekonomian Indonesia pada saat itu, sebagai tindak lanjut atas kajian, kritikan, dan masukan mengenai peraturan perdagangan di Indonesia yang masih belum jelas, serta adanya tuntutan dunia mengenai konfirmasi dan orientasi kebijakan dalam perdagangan di Indonesia.

Beberapa kasus berkaitan perdagangan yang cukup banyak terjadi dan mengkhawatirkan di Indonesia yaitu kasus penimbunan beras dan penyalahgunaan atau ketidaksesuaian pencatuman label produk yang dijual. 
     
Penimbunan beras dilakukan oleh beberapa pelaku dengan tujuan meningkatkan profit perusahan dan menekan biaya produksi. Pelaku menyimpan beras di gudang tanpa mendaftarkan ke pemerintah, lalu lama-kelamaan ketersediaan beras di pasar menipis sehingga membuat harga beras melambung tinggi, kemudian baru pelaku menjual beras yang telah disimpannya lama di gudang. Penyimpanan beras dalam waktu lama di gudang tanpa mendaftarkan ke pemerintah yang kemudian akan dijual ketika ketersediaan pasar menipis tersebut merupakan perilaku penimbunan beras yang melanggar peraturan yang berlaku.

Pencantuman label produk yang tidak sesuai dengan produk terkait yang dijual juga masih banyak marak terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, label produk mengatakan bahwa beras yang dijual merupakan beras premium yang memiliki harga jual lebih tinggi dibandingkan jenis beras lainnya, tetapi nyatanya produk yang dijual merupakan beras oplosan yang bukan sepenuhnya kualitas premium. Pelaku umumnnya akan mencampur beras yang berkualitas tinggi dengan beras berkualitas rendah, tetapi dikemas kembali menggunakan merek beras ternama sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi untuk meningkatkan profit. Ketidaksesuaian pencatuman label dengan produk yang dijual ini tentunya sangat merugikan konsumen.

Peraturan yang mengatur perdagangan dalam negeri tidak hanya UU No. 7 Tahun 2014, tetapi juga melibatkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) berkaitan dengan komoditi yang diperdagangkan dan aspek yang dikaji. Misalnya terdapat Permendag No. 57 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras. Selain itu, juga terdapat Permendag No. 73 Tahun 2015 tentang Kewajiban Pencatuman Label dalam Bahasa Indonesia pada Barang.

Dalam menanggapi kasus-kasus perdagangan dalam negeri tersebut, pemerintah perlu bersikap lebih tegas dalam pemberian sanksi kepada pelaku, meningkatkan pengecekan dan pengawasan label dan barang, serta mensosialisasikan peraturan-peraturan perdagangan kepada masyarakat agar dapat dipahami masyarakat dengan benar.

No comments:

Post a Comment