Wednesday 28 November 2018

Lepet, Makanan Tradisional Jawa Tengah

Lepet merupakan makanan tradisional asal Jawa Tengah yang terbuat dari beras ketan, kelapa parut, dan garam. Campuran bahan-bahan tersebut dimasukkan pada selongsong janur (daun kelapa muda) yang telah digulung sebelumnya, diikat dengan tali bambu, dan direbus selama 3-4 jam hingga matang. Berikut merupakan gambar selongsong janur dan lepet.
Selongsong janur yang telah digulung

Lepet

Umumnya, lepet banyak dan mudah ditemukan pada saat hari raya Idul Fitri. Tulisan ini akan membahas singkat mengenai sejarah, filosofi, dan penggunaan/penyajian lepet.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang budayawan Jepara yaitu Drs. Hadi Priyanto, lepet sudah ada dan cukup populer dikonsumsi sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha sekitar abad ke 8. Akan tetapi, simbolisasi dan pemberian makna filosofis terhadap lepet baru terjadi pada abad ke 15-16 saat perpaduan ajaran Hindu-Buddha dan Islam (ajaran Islam mulai masuk Indonesia pada abad ke 12). Sinkretisme atau peristiwa perpaduan kebudayaan lama dan baru tercipta untuk menghindari culture shock pada masyarakat saat Wali Songo menyiarkan agama Islam. Dua tokoh Wali Songo yaitu Sunan Kalijaga dan Sunan Derajat berperan penting dalam akulturasi budaya tersebut yang berkaitan dengan pemberian makna filosofis lepet.

Filosofi lepet berasal dari peribahasa Jawa yaitu "Silep Kang Rapet" yang berarti "disimpan baik-baik, rapat-rapat, ditutup baik-baik". Peribahasa ini menjelaskan bahwa segala kesalahan yang telah diakui seseorang harus disimpan rapat dan tidak disinggung atau diceritakan kepada orang lain. Oleh karena lepet pertama kali disimbolisasikan oleh Wali Songo, filosofis lepet sangat terkait dengan nilai-nilai dan budaya Islam. Setiap komponen bahan yang digunakan dalam pembuatan lepet memiliki makna sendiri, sebagai berikut:
1. Ketan yang memiliki tekstur menempel dan lengket satu sama lain menggambarkan ikatan pertemanan yang kuat.
2. Kelapa parut yang memiliki tekstur halus menggambarkan kehalusan perasaan dan sopan santun yang diharapkan terdapat pada umat Islam saat Idul Fitri.
3. Garam menggambarkan keseimbangan hubungan antara komunitas yang harmonis.
4. Janur (daun kelapa muda) yang berasal dari kata "jatining nur" memiliki arti cahaya sejati, menggambarkan sucinya kondisi manusia setelah menerima cahaya sejati selama bulan Ramadhan. Selain itu, kesulitan proses pengambilan janur yang berada pada puncak pohon menggambarkan upaya yang dilakukan umat muslim demi mencapai kesucian.
5. Tali bambu merupakan simbol pertemanan yang kuat karena sifat alami tanaman bambu yang tumbuh berkelompok.

Selain bahan, proses pemasakan lepet yang lama (3-4 jam) menggambarkan kesabaran yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Lepet yang terdiri dari 4 iratan tali menggambarkan 4 kegiatan dalam "laku papat" yang terdiri dari lebaran (lebar berarti membuka pintu hati lebar-lebar untuk memaafkan sesama), luberan (luber berarti membagikan rejeki melimpah kepada sesama yang membutuhkan), leburan (lebur berarti menghilangkan dosa dengan saling memaafkan satu sama lain), dan laburan (labur berarti kondisi hati manusia yang menjadi suci berwarna putih selayaknya kapur). Proses pembukaan bungkus lepet yang diputar satu per satu dari atas-tengah-bawah menggambarkan bahwa setiap masalah harus diselesaikan selangkah demi selangkah dan secara hati-hati.

Lepet umumnya disajikan bersama dengan kupat (ketupat) pada hari raya Idul Fitri. Bagi daerah yang tidak memiliki tradisi Syawalan, lepet disajikan pada tanggal 1 Syawal (saat hari raya Idul Fitri). Sedangkan beberapa daerah yang merayakan tradisi Syawalan seperti Jepara, Demak, dan Solo, lepet disajikan pada tanggal 8 Syawal (1 minggu setelah hari raya Idul Fitri). Lepet yang menyimbolkan kesucian dan kebersihan banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai gantungan di depan rumah (atap, pintu, dan lainnya) untuk mengusir hal-hal negatif.

Ritual bernama "Sedekah Laut" atau "Pesta Lomban" di Jepara merupakan ritual adat terkenal yang melibatkan lepet dalam beberapa rangkaian prosesi acaranya yaitu larungan, perang teluk, dan festival kupat lepet. Pada prosesi larungan, kapal berisikan kepala kerbau dan beberapa persembahan termasuk lepet dihanyutkan di laut. Pada perang teluk, lepet dan kupat digunakan sebagai "amunisi" untuk memperingati situasi perperangan antara Ratu Kalinyamat dengan Malaka. Pada festival kupat lepet, lepet disusun dalam bentuk gunungan dengan jumlah lepet sesuai tahun diadakannya festival tersebut. Gunungan lepet tersebut akan dibagikan kepada sesama yang menyimbolkan pengampunan dan kemurahan hati.

Selain Pesta Lomban, terdapat beberapa ritual atau acara yang juga melibatkan lepet dalam prosesinya seperti Gumbregan di Kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta; Larungan di Ponorogo; Upacara Tradisional Perang Obor, Sesaji Rewanda di Gua Kreo; Rebo Kasan; dan lainnya. Lepet umumnya dijadikan sebagai salah satu bahan sesaji dalam prosesi acara-acara tersebut.

Berikut merupakan video mengenai Lepet, makanan tradisional Jawa Tengah.

Wednesday 21 November 2018

Artificial Burger

Seiring bertambahnya jumlah penduduk dunia, berarti kebutuhan akan pangan juga meningkat. Dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat global tersebut, diperlukan sumber-sumber pangan baru atau pangan alternatif. Pangan alternatif yang cukup populer yaitu burger artifisial. Bahan pembuatan burger artifisial tersebut beragam, salah satunya yaitu berbahan dasar serangga. Serangga disebut-sebut sebagai "pangan masa depan". Berbagai jenis serangga dimulai dari jangkrik, belalang, ulat sagu, hingga kalajengking banyak dikonsumsi pada beberapa daerah. Serangga merupakan salah satu bahan yang dapat dijadikan sumber protein, yang mana berpotensi sebagai alternatif protein daging.

Larva Burger merupakan burger artifisial yang terbuat dari bahan dasar maggot (larva telur lalat). Maggot tersebut dicampukan dengan bahan pendukung lainnya untuk meningkatkan tekstur dan rasa menyerupai daging burger. Larva burger ini dinilai memiliki nutrisi lebih baik daripada daging burger asli karena mengandung protein tinggi (56%) dan lemak rendah (12-20%). Bahan dasar maggot dalam pembuatan burger diperoleh dari proses inkubasi telur lalat dengan menggunakan substrat sisa-sisa makanan (food waste). Penelitian menunjukkan waktu inkubasi optimum yaitu 4 hari karena dapat menghasilkan kadar protein tertinggi, sedangkan jika waktu inkubasi lebih dari 5 hari maka kadar protein larva dapat menurun.

Selain serangga, terdapat bahan lain yang dikembangkan sebagai bahan burger artifisial yaitu feses manusia. Ide Poop Burger ini dikembangkan oleh peneliti Jepang bernama Mitsuyuki Ikeda. Munculnya ide ini tidak hanya diawali permasalahan mengenai pangan alternatif untuk memenuhi kebutuhan pangan global, akan tetapi juga disebabkan masalah tersumbatnya saluran pembuangan. Feses dianggap sebagai bahan yang akan terus ada sehingga sangat berpotensi untuk dimanfaatkan. Proses pembuatan poop burger ini dilakukan dengan mengekstrak protein dari limbah feses kemudian dicampurkan bahan pendukung lainnya seperti roti dan rempah-rempah. Poop burger mengandung protein 63%; karbohidrat 25%; lemak 3%; dan 9% mineral. Kendala dari pembuatan produk ini yaitu biaya yang sangat tinggi karena dibuat dalam skala laboratorium. Ikeda berpendapat bahwa walau kini biaya produksi terlihat tinggi, jika burger ini diproduksi secara massal maka dapat menekan biaya produksi.

Image result for poop burger

Pembuatan pangan artifisial awalnya dianggap tidak diperlukan, akan tetapi mulai diperlukan seiring meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan. Kedua jenis artificial burger tersebut menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Terlebih lagi, di negara-negara muslim, faktor kehalalan bahan dan proses merupakan salah satu kendala terbesar dalam produksi kedua jenis artificial burger tersebut.

Wednesday 14 November 2018

A Critical Review of Potential Pathways to Resolve The Global Food Crisis

Tulisan kali ini akan membahas mengenai jurnal yang membahas mengenai krisis pangan global. Jurnal tersebut ditulis oleh Fraser, dkk. (2016) dengan judul "Biotechnology or Organic? Extensive or Intensive? Global or Local? A critical review of potential pathways to resolve the global food crisis".

Seiring berjalannya waktu, diprediksikan bahwa jumlah penduduk dunia akan terus meningkat. Pertumbuhan populasi penduduk tersebut tidak selaras dengan pertumbuhan ekonomi, kemudian ditambah dengan masalah perubahan iklim, erosi tanah, kelangkaan air, dan lainnya yang berujung pada krisis pangan global. Krisis pangan global tersebut dapat disebabkan rendahnya produksi pangan dan/atau ketidakseimbangan pengaturan pangan yang dipengaruhi kekuatan politik dan ekonomi. Dalam jurnal ini dibahas 4 perspektif untuk mengatasi krisis pangan global, sebagai berikut.

1. Teknologi untuk meningkatkan produksi pangan
Pemanfaatan teknologi yang semakin berkembang dan canggih dipercayai dapat meningkatkan jumlah produksi pangan guna mengatasi krisis pangan global. Salah satu teknologi tersebut yaitu rekayasa genetika. Melalui rekayasa genetika, dapat diciptakan varietas tanaman yang resisten terhadap hama, penyakit, dan kondisi lingkungan lainnya sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Di India, penerapan teknologi rekayasa genetika telah berhasil menghasilkan tanaman padi yang tetap dapat tumbuh di tanah dengan kandungan fosfor rendah. Di sisi lain, rekayasa genetika dianggap tidak dapat mengatasi permasalahan krisis pangan global, karena dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan seperti kerusakan rantai pangan dan resistensi tanaman transgenik.

2. Distribusi pangan yang merata (keadilan dan distribusi)
Perspektif ini menyatakan bahwa penyebab krisis pangan global yaitu pada ketidakrataan distribusi pangan, terbukti dengan fakta bahwa 800 juta orang mengalami kelaparan dan di saat bersamaan sekitar 1,3 miliar orang mengalami obesitas. Distribusi pangan yang tidak merata tersebut disebabkan oleh kekuatan politik dan ekonomi yang didominasi beberapa pihak pemangku kepentingan. Dalam mencapai distribusi pangan yang merata, terdapat 3 strategi yang dapat dilakukan yaitu:
a. Mengurangi pemakaian tanaman pangan yang dapat dikonsumsi sebagai bahan bakar. Akan tetapi, di sisi lain, pembatasan pemakaian tanaman untuk bahan bakar dapat menyebabkan kenaikan harga bahan bakar yang pada akhirnya berujung pada kenaikan harga pangan.
b. Meningkatkan distribusi langsung melalui bantuan makanan dari negara yang memiliki banyak ketersediaan bahan pangan. Strategi ini jika dijalankan dalam waktu panjang dapat mengakibatkan masalah baru yaitu penurunan pendapatan petani-petani lokal.
c. Merubah pola makan dengan mengurangi konsumsi daging. Dengan demikian, lahan tempat pemeliharaan ternak dapat dimanfaatkan untuk menanam bahan pangan yang dapat dikonsumsi masyarakat.

3. Kedaulatan pangan lokal
Para ahli berpendapat bahwa salah satu pilar pusat ketahanan pangan yaitu kedaulatan pangan lokal yang melibatkan pertanian lokal, organik, dan beragam sebagai salah satu cara mengatasi krisis pangan global. Melalui lokalisasi tersebut, dapat meningkatkan hasil pertanian para petani lokal, menyediakan akses pasar, dan lainnya. Dengan demikian, diharapkan dengan tercapainya kedaulatan pangan lokal, juga dapat mengatasi krisis pangan global.

4. Kegagalan pasar, kebijakan dan peraturan
Dalam perspektif ini, dikatakan bahwa eksternalitas negatif merupakan salah satu hal yang mempengaruhi krisis pangan. Eksternalitas negatif merupakan dampak negatif dari aktivitas ekonomi. Beberapa bentuk eksternalitas antara lain subsidi yang tidak tepat, pembuangan pangan sia-sia (food waste), dan lainnya. Dalam mengatasi pembuangan pangan sia-sia, diperlukan kebijakan dan peraturan yang dapat membatasi konsumsi dan pembuangan pangan tersebut. Selain itu, juga dapat dilakukan proses pengolahan pangan yang tepat sehingga dapat menambah umur simpan produk dan meminimalkan kemungkinan produk rusak dan terbuang sia-sia.

Dari keempat perspektif tersebut, setiap perspektif memiliki argumen dari berbagai sudut pandang. Pemakaian hanya satu perspektif saja tidak dapat mengatasi permasalahan krisis pangan global. Oleh karena itu, diperlukan penggabungan prinsip dan ide dari setiap perspektif dengan mengesampingkan kepentingan masing-masing golongan guna mengatasi krisis pangan global.

Thursday 8 November 2018

Three Perspectives on Sustainable Food Security


Tulisan kali ini akan mengulas mengenai jurnal dengan judul “Three Perspectives on Sustainable Food Security: Efficiency, Demand Restraint, Food System Transformation. What Role for LCA?” yang ditulis oleh Tara Garnett pada tahun 2013.

            Masalah mengenai makanan telah menjadi isu dunia yang banyak mengundang perhatian. Meningkatnya populasi dunia secara cepat menyebabkan pesatnya kenaikan permintaan akan sumber daya, lahan, dan pangan. Peningkatan permintaan yang tidak diikuti dengan pasokan sumber daya yang memadai dapat menyebabkan isu kelaparan. Ditambah lagi perubahan kondisi lingkungan, dan emisi perusak lingkungan hasil proses produksi yang memperburuk situasi dalam memproduksi makanan. Masalah pangan lainnya yaitu ketidakadilan dalam segi distribusi yang menyebabkan terjadinya dua situasi bertolakbelakang (obesitas dan kekurangan nutrisi). Melihat kedua masalah pangan tersebut, diperlukan pengaturan dan penataan kembali sistem pangan untuk dapat menghasilkan pangan yang mencukupi dengan dampak lingkungan minim.
            
Garnett menyatakan bahwa terdapat 3 perspektif yang berkaitan dengan keberlanjutan sistem pangan, yaitu sebagai berikut:

Efficiency
Fokus pada perspektif efisiensi yaitu meningkatkan produktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar. Peningkatan produktivitas tersebut dapat dicapai melalui pemanfaatan teknologi dan manajerial yang tepat. Menurut perspektif ini, dengan meningkatkan produksi maka dapat mengurangi dampak lingkungan. Metrik pengukuran dampak yaitu kg produk/emisi sehingga jika dalam suatu proses efisiensi produksi dimana hasil produksi dapat ditingkatkan dengan jumlah emisi yang sama maka dianggap lebih ramah lingkungan.
Selain itu, land sparing juga dapat dicapai melalui penerapan perspektif efisiensi. Awalnya, dalam memenuhi kebutuhan yang meningkat diperlukan pembukaan lahan baru untuk meningkatkan jumlah produksi. Akan tetapi, melalui peningkatan produktivitas dimana dengan jumlah lahan yang sama dapat menghasilkan produk lebih banyak, tidak diperlukan lagi pembukaan lahan baru untuk proses produksi.
            LCA dalam perspektif ini dapat membantu mengidentifikasi performa dari masing-masing teknik produksi, teknik manakah yang menghasilkan dampak lingkungan paling rendah. Perspektif efisiensi hanya berfokus pada kuantitas (jumlah) produksi, tetapi tidak terlalu memperhatikan kualitas nutrisi produk, dan dimensi ketahanan pangan lainnya seperti akses, utilitas, dan stabilitas.

Demand Restraint
Berbeda dengan perspektif sebelumnya, perspektif demand restraint berfokus pada konsumen. Menurut perspektif ini, penyebab utama dari krisis lingkungan yaitu konsumsi berlebihan oleh konsumen sehingga pembatasan konsumsi merupakan prioritas utama yang perlu diperhatikan. Dalam perspektif ini, LCA digunakan untuk mengidentifikasi kebiasaan konsumsi mana yang mendorong produksi berlebihan.
Dalam perspektif ini, ditekankan bahwa produk nabati “lebih baik” dibandingkan produk hewani karena produk nabati dianggap dapat memenuhi nutrisi secara seimbang dengan hasil emisi gas rumah kaca lebih rendah. Misalnya, pemberian biji-bijian sebagai pakan hewan ternak dianggap “boros” karena akan lebih efisien jika biji-bijian langsung dikonsumsi oleh manusia. Perspektif ini menyoroti tata cara distribusi pangan yang tidak merata dan pola konsumsi yang memakan banyak sumber daya.

Food System Transformation
Jika perspektif efficiency berfokus pada sistem produksi, perspektif demand restraint berfokus pada sistem konsumsi, maka perspektif food system transformation mempertimbangkan produksi dan konsumsi sebagai satu kesatuan yang mempengaruhi sistem pangan. Menurut perspektif ini, kedua hal tersebut saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan interaksinya dalam sistem pangan. Perspektif ini menyoroti bahwa masalah yang dihadapi sistem pangan merupakan masalah sosial ekonomi.
Menurut perspektif ini, dalam mencapai keberlanjutan sistem pangan, tanggung jawab tidak dapat dibebankan kepada individu saja, melainkan pada sistem. LCA dalam perspektif ini memiliki keterbatasan karena metrik sederhana dalam LCA untuk menilai dampak lingkungan tidak dapat menggambarkan berbagai interaksi antar komponen dalam sistem pangan.

Ketiga perspektif tersebut dapat digunakan secara terpisah atau digabungkan oleh setiap individu atau institusi pada waktu dan tingkat yang berbeda sesuai dengan situasi atau kondisi yang ada. Gabungan ketiga perspektif tersebut diperlukan dalam menangani masalah keberlanjutan, tetapi diperlukan pemahaman mengenai prinsip dan nilai dasar dari masing-masing perspektif.